Seni Silat

UNTUK apa belajar silat? Pertanyaan ini sering diajukan, dan jawabannya ternyata bisa banyak. Sekarang ini, dunia persilatan adalah bagian dari olahraga. Pencak silat pun, sebagai olahraga, dipertandingkan di berbagai kejuaraan, termasuk di arena PON yang kini digelar di Surabaya. Penonton bisa berjubel, silat dilihat sebagai adu ketangkasan.

Dalam hal ketangkasan itu, silat digolongkan sebagai ilmu bela diri, seperting kungfu, taekondow dan semacamnya. Namun, ada pula silat yang tujuan utamanya bukan bela diri, tetapi semata-mata untuk kesehatan. Biasanya silat jenis ini lebih mengacu kepada ilmu pernapasan dan membangkitkan tenaga dalam yang memang sudah ada di tubuh setiap manusia. Kelompok-kelompok seperti Satria Nusantara, Merpati Putih, bisa digolongkan dalam jenis ini. Tentu juga termasuk yang lebih “halus” seperti Wai Thang Kung, Tai Chi dan sebagainya.

Silat sebagai seni, mulai surut, tapi tetap dipelihara di berbagai daerah. Di Jawa Barat dan Sumatera Barat, seni persilatan ini tetap berkembang yang merupakan perpaduan antara ketangkasan dan gerak-gerak yang estetik. Juga diiringi tetabuhan atau seruling tergantung ciri khas daerah masing-masing. Bahkan seni silat Minang, Sumatra Barat, sering sekali menjadi jiwa dari pementasan kesenian. Teater Populer pimpinan Teguh Karya berkali-kali menyuguhkan lakon yang gerak dan jiwanya mengambil dari silat Minang.

Di kalangan artis, belajar silat juga berkaitan dengan kesenian. Bintang film atau sinetron belajar silat karena tuntutan cerita. Bahkan dalam teater rakyat Jawa, para pemain wajib belajar silat, karena banyak sekali ada adegan perkelahian. Di kalangan seniman tradisional ini malah sering muncul ejekan, yang menguasai ilmu silat paling bagus selalu mendapat peran yang kalah. Ya, karena dia memerankan tokoh yang jungkir balik, jatuh bangun, pontang-panting, sementara yang ilmu silatnya kurang malah mendapatkan peran “sakti” karena hanya mengangkat tangan seolah-olah mengeluarkan jurus maut. Teater rakyat Bali seperti drama gong memang belum memanfaatkan teknik-teknik silat ini untuk adegan perkelahian, karena perkelahian tokoh-tokohnya menggunakan keris dan lebih menekankan pada cerita dibandingkan visualisasi perkelahian.

***

DI masa kanak-kanak saya, silat sebagai sebuah seni pertunjukan, amat digemari. Kalau ada upacara, orang menanggap grup silat. Saya masih bisa mengenangnya, bagaimana pesilat itu memperagakan jurus-jurus yang diiringi pukulan kendang. Kalau pemain dalam grup (sekehe) semua sudah tampil, penonton yang ingin menunjukkan kebolehannya dipersilakan tampil. Maka, banyak sekali pesilat amatir yang masih mengenakan kain sarung tampil ke pentas, dengan melipatkan kain sarungnya di pinggang. Sorak-sorai penonton menyambutnya tergantung seberapa piawai pesilat amatir itu. Saya suka memainkan kendang untuk silat itu: plak dung dung, plak dung dung, plak dung deng… nadanya begitu-begitu saja, tetapi iramanya bisa naik turun.

Menjelang dan sesudah peristiwa G 30 S/PKI, saya ikut bergabung dalam kelompok Gastam (Gabungan Seni Silat Tameng Marhaenis). Keikut-sertaan saya ini lebih sebagai aksi-aksian saja, merasa gagah karena memakai baret di kepala. Di situ, tabuh yang mengiringi silat sudah lebih banyak, sudah memakai kempur, cenceng dan sebagainya. Iringan tabuh pun merespon setiap gerak, misalnya, kalau memukul atau menendang suara cenceng dikeraskan. Jadi, semacam ada angsel kalau di dunia tari. Silat di masa itu masih didominasi seni, belum berupa ketangkasan sebagaimana sekarang ini. Karena itu silat sering diselipkan di antara kesenian janger yang sarat berbau politik. (Kalau saya pikirkan sekarang, sebenarnya bukan politik, tetapi maki-makian.)

Saya tidak tahu perkembangan seni silat setelah itu. Wabah drama gong yang menggantikan wabah janger, tidak menyertakan seni silat, baik sebagai selingan maupun sebagai bagian dari cerita. Seperti yang sudah saya katakan tadi, perkelahian di dalam adegan drama gong lebih banyak menampilkan simbolisasi.

Jika kini silat sebagai sebuah seni kembali dimunculkan di Bali, bahkan dipentaskan di Pesta Kesenian Bali, saya sebenarnya ingin tahu: apakah silat itu menjadi bentuk pemanggungan atau jiwa sebuah cerita yang dimainkan, atau silat semata-mata sebagai suguhan gerak seni tanpa ada repertoar apapun? Jika silat ini menjadi jiwa pementasan, sebagaimana yang dilakukan Teater Populer dalam beberapa drama-dramanya, maka ini jelas langkah bagus. Masalahnya adalah apakah para seniman di Bali sudah menginventarisasi gerak-gerak silat khas Bali yang bisa diolah untuk seni pentas? Kalau gerakan itu sifatnya umum dan hanya berupa ketangkasan belaka, maka silat sebagai seni itu tak akan ada artinya. Sama saja dengan melihat perlombaan pencak silat yang diiringi tabuh. Atau kalau jurus-jurus silat sebagai gerakan seni itu dicontek dari daerah lain, maka pementasan itu hanya bisa disebut sebagai selingan saja. Seniman topeng Wayan Diya kalau mementaskan topeng bondres, pasti menyelipkan adegan silat Minang yang tabuhnya sudah diciptakan khusus oleh Kompyang Raka. Dari sini saja sebenarnya saya khawatir, jangan-jangan silat sebagai seni tidak mengakar di Bali dan tidak ada kekhasannya. Karena yang saya saksikan di masa kanak-kanak dan saat jaya-jayanya Gastam itu, iringan tabuh hanya tempelan saja. Jurus-jurus silat rasanya sangat umum. Tapi mungkin saya salah dan tidak mengamati secara rinci.

Putu Setia
24 Juni 2000

2 pemikiran pada “Seni Silat

  1. Ping balik: Kesenian Jawa : Seni Silat, Tetap Dipelihara Daerah

Tinggalkan komentar