Festival Silat; Merayakan Keragaman

Meski beragam, ada satu kesamaan yang menonjol dari indahnya seni silat ranah pasundan, yakni indahnya gerak silat itu sendiri. Tiada yang lebih bagus. Semua sederajat, sama-sama elok. Maka pantas bila keragamanlah yang dirayakan dalam pagelaran Festival Seni Silat kali ini

Selaras dengan semangat yang dibawa, pagelaran ini hanya menampilkan kekayaan seni gerak, olah napas, dan tari dari secuil wilayah bumi Jawa. Tak kurang dari 12 perguruan, gelaran bertajuk Festival Seni Pencak Silat Padjajaran Nasional ini menghadirkan berbagai macam pesona gerak tarung sekaligus tari dari ranah Sunda.

Kemeriahan makin lengkap dengan tampilnya beberapa perguruan Betawi yang di tahun lampau menjadi kebanggaan para jawara Batavia. Ada perguruan Putra Betawi.  Ada juga Cingkrik Goning. Gelaran di Hall Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah ini pun riuh.



Ego Tersingkir

Tiada semangat ingin menang dari setiap pendekar yang tampil. Hanya mengagumi satu sama lain atas kekayaan indahnya gerak dan kekuatan pukulan, sapuan, tendangan, dan kuncian yang dimiliki. Karena itulah, di tempat ini ego tersingkirkan.

“Itulah arti festival, Mas,” ungkap Topan, salah satu koordinator Perguruan Padjajaran dari DKI Jakarta. Karena itu acara yang berlangsung Minggu, 28 Oktober lalu ini tidak dituturkan sebagai kejuaraan.
“Kalau diberi judul kejuaraan, Kita semua inginnya menang. Ego menjadi nomor satu dan dikedepankan. Padahal dalam dunia persilatan, pendekar sejati sebaiknya tidak menonjolkan ego,” jelas Topan.

Lalu, Topan pun bernarasi betapa pentingnya meletakkan ego. Menjadi pesilat itu, katanya, bukan untuk menjadi jagoan yang inginnya disegani siapa saja. “Bersilat itu adalah jalan untuk berkawan, alat untuk silaturahmi,” ujar Aziz Asyari, salah satu guru silat Cikalong menambahi.
Ini lebih merupakan acara merayakan indahnya keragaman seni dan kemenangan bersama. “Kita semua adalah pemenang,” ujar seorang pendekar.

Tampilnya Pendekar Manca

Tiada suara saling menjelekkan, meledek atau melontarkan kata-kata “huu…” melainkan hanya sorak dan tepuk riuh rendah menghangati suasana gelaran sehari ini. Seruan kebanggaan dan decak kagum pun makin meninggi tatkala dua orang pendekar manca negara tampil. Miguel dan Soora merapat ke arena. Berpasangan mereka suguhkan indahnya silat Sunda setelah tiga bulan berlatih tiada kenal lelah.

Selang beberapa tampilan, muncul lagi pendekar manca dari negerinya yang sama, Kincir Angin. Kali ini usianya lebih tua. Mr. Dick Van Reenee dengan lemah gemulai tapi berkekuatan menyodorkan indah, lembut namun kerasnya gerak seni Padjajaran.

“Saya sejak dahulu memang kagum dengan kebudayaan timur, terutama Jawa dengan silatnya. Selain saya memang suka berolahraga,” ujar pria yang ternyata dokter spesialis medical cek up ini.
Sebagai seorang dokter yang berlatar belakang pendidikan barat, Dick yang juga ketua perguruan silat Padjajaran Nasional se-Belanda ini menyadari betapa pagelaran ini merupakan wahana penting bagi bangkitnya seni budaya Nusantara.

“Ini memang baru yang pertama kali diadakan oleh perguruan Padjajaran, tapi gelaran yang sama sudah dilakukan oleh perguruan lain beberapa kali,” jelas Topan. Selanjutnya, tunggu saja tanggal mainnya.
Diselingi dengan tampilnya penari jaipong, festival ini makin memperjelas betapa kayanya ranah Sunda di mata kami semua para penikmat yang duduk di kejauhan. Gerak gemulai penari menandai eloknya jiwa dan rasa perasaan yang mencipta seni ini. @

Artikel ini di publikasikan di Tabloid GAYA HIDUP
penulis : Abdi (http://abdiganteng.multiply.com/)

Satu pemikiran pada “Festival Silat; Merayakan Keragaman

  1. Ping balik: Kesenian Jawa : Festival Silat, Rayakan Keragaman

Tinggalkan komentar